Sebagai
nelayan,
keluargaku selalu menganggap laut sebagai brangkas penyimpan uang terbesar yang
pernah ada. Dan untuk membuka brangkas itu dibutuhkan ketrampilan, kecerdasan,
ketangguhan dan kerja keras. Keluargaku menganggap
laut juga sahabat sekaligus musuh. Lebih tepatnya, bagi keluargaku, laut adalah guru yang
kedalaman ilmunya tak pernah mungkin bisa diselami oleh siapapun.
Pada sebuah pagi sekitar
lima bulan yang lalau, aku bersama Atan, abangku punya kenangan buruk kepada
laut. Kami berdua hampir mati ditelan ombak. Kami pergi memancing dan
tiba-tiba pompong kecil yang kami naiki
diombang-ambing gelombang, ditiup badai hingga terbalik lalu tenggelam. Untung
ada pelampung di pompong kami. Pelampung itu sempat kami raih sesaat sebelum
karam. Hampir dua jam kami mengapung diatas pelampung diayun-ayun gelombang sambil
berharap ada pertolongan.
Kami tidak
menyangka jika hari itu akan datang badai. Padahal ketika akan melaut cuaca di langit
tampak cerah sumringah. Matahari berseri-seri mengiringi keberangkatan kami. Namun
berselang sekitar sejam perjalanan, ketika kami sudah berada ditengah lautan, tiba-tiba
cuaca berubah. Angin datang sangat cepat, diiringi arak-arakan awan hitam lalu
hujan dan disusul gelombang yang sangat tinggi. Kami pasrah dan sepenuhnya
menyerahkan apapun yang akan terjadi kepada Sang Pencipta lautan.
Kami terombang-ambing
diatas pelampung di sekitar Selat Lampa, Laut Natuna (dulu Laut China Selatan).
Itu memang lokasi kami biasa mencari ikan. Ikannya masih banyak, besar-besar
dan jenisnya pun yang paling laku di pasaran. Berhadapan dengan badai serta
gelombang bagi kami hal biasa. Namun baru kali ini pompong kami sampai terbalik
dan karam.
Tidak hanya menghadapi
hujan badai dan gelombang saja. Di Natuna kami juga sering bersaing dengan
nelayan-nelayan berbendera asing yang kapalnya lebih besar dan peralatannya
lebih lengkap. Meskipun kawasan itu masih Indonesia, tapi nelayan-neayan asing
itu dengan santai mengambili ikan-ikan disana. Bahkan kadang-kadang mereka
memberi isyarat kepada nelayan lokal agar pergi menjauh. Para nelayan tempatan
yang sadar akan kondisi pompongnya terpaksa menjauh, karena takut mereka akan
bertindak yang membahayakan. Apalagi kapal mereka lebih besar, peralatannya
lebih lengkap dan jumlah ABK-nya juga lebih banyak. Hmm, dijajah itu jelas terasa
lebih menyakitkan di banding harus melawan badai dan gelombang.
Pompong kami sudah
tidak terlihat sama sekali, alias sudah karam di dasar laut yang dalamnya
sekitar 60-70 meter. Hanya beberapa puing-puing berupa papan yang mengapung
disekitar kami. Abangku, Atan, mengingatkan aku agar terus menggerakkan anggota
tubuh supaya tidak kaku dan tetap bisa mengapung.
Tampak ada pompong
lain di kejauhan. Namun mereka tidak melihat kami yang hanya titik hitam kecil
sekali di lautan luas. Percuma kami berteriak, sudah pasti mereka tidak mendengar.
Kami berdua lebih baik menghemat tenaga, menjaga diri untuk tetap tidak panik
dan terus sabar. Sambil mengharapkan ada nelayan lain yang melintas di koordinat
kami.
Dan Allah ternyata
sangat sayang kepada kami berdua. Dan benar, setelah hampir dua jam kami
terapung dan diombang-ambing oleh laut lepas nan ganas, Dia menghendaki pamanku
dan anaknya melintas di titik koordinat dimana aku dan abagku sedang bergelut melawan
maut. Akhirnya Aku selamat, abangku selamat. Pompongku karam tiada berbekas.(***)
(NB: Tulisan ini cerita nyata dari salah seorang warga di Kabupaten Natuna..)
(NB: Tulisan ini cerita nyata dari salah seorang warga di Kabupaten Natuna..)
No comments:
Post a Comment