Wednesday 15 November 2017

Karam

 
Sebagai nelayan, keluargaku selalu menganggap laut sebagai brangkas penyimpan uang terbesar yang pernah ada. Dan untuk membuka brangkas itu dibutuhkan ketrampilan, kecerdasan, ketangguhan dan kerja keras.  Keluargaku menganggap laut juga sahabat sekaligus musuh. Lebih tepatnya, bagi keluargaku, laut adalah guru yang kedalaman ilmunya tak pernah mungkin bisa diselami oleh siapapun.


Pada sebuah pagi sekitar lima bulan yang lalau, aku bersama Atan, abangku punya kenangan buruk kepada laut. Kami berdua hampir mati ditelan ombak. Kami pergi memancing dan tiba-tiba  pompong kecil yang kami naiki diombang-ambing gelombang, ditiup badai hingga terbalik lalu tenggelam. Untung ada pelampung di pompong kami. Pelampung itu sempat kami raih sesaat sebelum karam. Hampir dua jam kami mengapung diatas pelampung diayun-ayun gelombang sambil berharap ada pertolongan.

Kami tidak menyangka jika hari itu akan datang badai. Padahal ketika akan melaut cuaca di langit tampak cerah sumringah. Matahari berseri-seri mengiringi keberangkatan kami. Namun berselang sekitar sejam perjalanan, ketika kami sudah berada ditengah lautan, tiba-tiba cuaca berubah. Angin datang sangat cepat, diiringi arak-arakan awan hitam lalu hujan dan disusul gelombang yang sangat tinggi. Kami pasrah dan sepenuhnya menyerahkan apapun yang akan terjadi kepada Sang Pencipta lautan.

Kami terombang-ambing diatas pelampung di sekitar Selat Lampa, Laut Natuna (dulu Laut China Selatan). Itu memang lokasi kami biasa mencari ikan. Ikannya masih banyak, besar-besar dan jenisnya pun yang paling laku di pasaran. Berhadapan dengan badai serta gelombang bagi kami hal biasa. Namun baru kali ini pompong kami sampai terbalik dan karam.

Tidak hanya menghadapi hujan badai dan gelombang saja. Di Natuna kami juga sering bersaing dengan nelayan-nelayan berbendera asing yang kapalnya lebih besar dan peralatannya lebih lengkap. Meskipun kawasan itu masih Indonesia, tapi nelayan-neayan asing itu dengan santai mengambili ikan-ikan disana. Bahkan kadang-kadang mereka memberi isyarat kepada nelayan lokal agar pergi menjauh. Para nelayan tempatan yang sadar akan kondisi pompongnya terpaksa menjauh, karena takut mereka akan bertindak yang membahayakan. Apalagi kapal mereka lebih besar, peralatannya lebih lengkap dan jumlah ABK-nya juga lebih banyak. Hmm, dijajah itu jelas terasa lebih menyakitkan di banding harus melawan badai dan gelombang.

Pompong kami sudah tidak terlihat sama sekali, alias sudah karam di dasar laut yang dalamnya sekitar 60-70 meter. Hanya beberapa puing-puing berupa papan yang mengapung disekitar kami. Abangku, Atan, mengingatkan aku agar terus menggerakkan anggota tubuh supaya tidak kaku dan tetap bisa mengapung.

Tampak ada pompong lain di kejauhan. Namun mereka tidak melihat kami yang hanya titik hitam kecil sekali di lautan luas. Percuma kami berteriak, sudah pasti mereka tidak mendengar. Kami berdua lebih baik menghemat tenaga, menjaga diri untuk tetap tidak panik dan terus sabar. Sambil mengharapkan ada nelayan lain yang melintas di koordinat kami.

Dan Allah ternyata sangat sayang kepada kami berdua. Dan benar, setelah hampir dua jam kami terapung dan diombang-ambing oleh laut lepas nan ganas, Dia menghendaki pamanku dan anaknya melintas di titik koordinat dimana aku dan abagku sedang bergelut melawan maut. Akhirnya Aku selamat, abangku selamat. Pompongku karam tiada berbekas.(***)

(NB: Tulisan ini cerita nyata dari salah seorang warga di Kabupaten Natuna..)

No comments:

New Entri

Lai Ba Ju

Jam 06.45 WIB, bel sekolah SD Impian baru saja dibunyikan. Para siswa dan siswi dari kelas 1 hingga kelas 6 segera berbaris didepan kelas m...