Diantara pongahnya
gedung-gedung yang berdiri tegak, lagak di Jakarta, aku mulai menekan tombol android untuk
memesan jasa transportasi di aplikasi online. Tak menunggu waktu terlalu lama
langsung keluar di layar aplikasiku, sebut saja seorang driver bernama Aam lengkap dengan foto dan dijelaskan dengan
mobil apa dia akan datang dan plat nomornya. Tak lama kemudian sebuah mobil sedan
datang menghampiriku. Untuk meyakinkan jika aku memang orang yang memesan
jasanya, pak Aam menghubungi nomorku.
Mobil Sedan sedikit mengkilat berwarna gelap berhenti
didepanku. Tak lama aku sudah berada didalamnya, duduk di depan, disebelah
driver. Pak Aam mengawali kerja dengan basa-basi, mengucapkan selamat pagi,
memastikan tujuanku untuk mencocokkan dengan yang aku order di aplikasi, lalu
menawarkan jalur terbaik dan terdekat yang harus di tempuh. Kondisi Jakarta
yang macet, seorang driver harus kreatif untuk mendapatkan jalur alternative.
Biar sedikit memutar arah, namun sampainya bisa lebih cepat.
Aku tidak hafal jalanan di Jakarta, aku serahkan
sepenuhnya kepada pak Aam. Biar dia yang menentukan jalan yang mana yang
terbaik. Toh jalur manapun yang dilalui, sejauh apapun memutarnya, tarif
transportasi online yang aku pesan tidak akan berubah. “Baik pak, kalau begitu
Ciledug ya. Soalnya jika kita lewat
Kebayoran Lama, kita akan terjebak macet di Pasar Cipulir, dan lama macetnya,”
kata Pak Aam. “Iya pak. Atur aja,” kataku.
Mobil mulai jalan. Untuk menghilangkan kesunyian dalam
perjalanan Pak Aam memutar radio dengan volume sanga pas di telinga. Kebetulan
sekali music yang diputar berjudul turnin’ me on nya Blake Shelton, aku
menyukainya.
Sambil mendengarkan music, pak Aam mulai membuka
obrolan dengan menanyaiku beberapa pertamyaan. Dari mana, mau kemana, ada
keperluan apa di Jakarta dan sebagainya. Akhirnya aku mengenal pak Aam adalah
sosok pria berasal dari Blora, sebuah
daerah yang letaknya di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pak Aam sedang
sangat bahagia hari itu, karena belum lama mendapatkan anggota baru dalam
keluarganya. Seorang anak laki-laki mungil telah menghiasi keluarganya
selama 10 bulan terakhir ini. Anak pertama, laki-laki pula.
Saking bahagianya, ketika aku bertanya kepadanya “Pak Aam sudah keluarga?,” Pak Aam
cepat-cepat menjawab “Sudah Pak” katanya. Dan tanpa aku minta dia langsung
menunjukkan foto istri yang sedang menggendong anak pertamanya. “Ini istri saya
pak dan yang ini anak saya, umurnya 10 bulan,” katanya tersenyum menyiratkan
bahagia di wajahnya.
Aku bisa merasakan betapa bahagianya Pak Aam saat
menceritakan anaknya itu, karena aku juga seorang Ayah. Aku senyum-senyum aja. “Wah
umur 10 bulan masih lucu-lucunya itu ya pak. Itulah yang bikin pak Aam tambah
semangat kerja tentunya ya,” tanyaku lagi.
“Bukan nambah semangat kerja pak. Tapi nambah semangat
pengen cepat pulang,” kata Aam. Kami tertawa. Pak Aam tertawa hingga
memperlihatkan giginya yang ompong disebelah kiri atas.
Informasi lain yang aku tahu tentang Pak Aam, dia baru
sekitar 1 tahun menjadi driver transportasi online, sebelumnya dia ikut taxi
konvensional. Dengan pengalamannya di konvensional, Pak Aam sangat cekatan dan
menguasai jalanan di ibu kota Jakarta. Tidak salah jika aku menyerahkan
sepenuhnya ketika dia menawarkan rute mana yang akan dilewati. Ketika aku
mencoba sedikit memuji tentang kepiawaiannya menguasai jalan-jalan di Jakarta, Pak
Aam hanya mengatakan jika hal tersebut bagian dari tuntutan profesinya.
“Waktu baru-baru jadi driver, saya nol besar juga pak.
Tidak tau jalan sama sekali. Karena saya kan pendatang. Untung ada aplikasi googlemap.
Darisana saya mulai belajar, apalagi fitur di googlemap sangat lengkap. Lambat laun saya faham jalan-jalan utama.
Kemudian saya mulai mempelajari jalan-jalan alternative yang ada. Termasuk
bagaimana mengidentifiksi jalanan yang macet dan sebagainya melalui aplikasi,”
jelas Pak Aam.
Pak Aam yang seorang pendatang mengakui jika kehidupan
di Jakarta cukup keras. Setiap individu hidup dalam lingkaran yang serba
individualis. Loe ya loe, gue
ya gue. Sehingga tak jarang jika
masyarakat di Jakarta saling tidak mengenali tetangganya sendiri. Jiwa sosial
di Jakarta sangat kurang. Sehinga mustahil untuk mengharap kasihan dari orang lain jika
menghadapi kesulitan di sana. Menurut pak Aam Jakarta adalah arena fighting.
Yang lemah akan tertindas, tergilas lalu tereliminasi. Yang sanggup, dia akan
tetap bertahan dan bahkan akan bisa berkembang.
Mataku lalu tajam mengamati gedung-gedung tinggi yang
bercokolan disepanjang jalan yang kami lalui. Gedung-gedung berdiri perkasa seolah-olah
paling berkuasa. Menunjuk-nunjuk langut, tegak dan lagak. Seakan lupa jika
cengkeraman pondasinya tetap berada di bumi. “Benar mas, di Jakarta memang harus begitu,
disini semua orang pengen hidup. Dan untuk bertahan di Jakarta memang harus fight!,” kataku.
Tak terasa aku sampai di tujuan. Bualan barusan
menghipnotisku dari kebosanan sepanjang perjalanan. Kami saling berterimakasih.
Sebagai pengguna jasa transportasi online, bagi saya ini adalah inovasi
transportasi yang sangup menawarkan rasa aman, nyaman dan efisien bagi para penumpang.
Karena semua transaski dilakukan secara transparan dan terpantau langsung di
aplikasi hinga penumpang sampai di tujuan.
Pak Aam dan mobilnya pergi meninggalkan aku. Tak lama
kemudian muncul di aplikasi transportasi onlineku sebuah permintaan agar aku
memberikan penilaian atas pelayanan driver yang barusan aku sewa. Sedikitpun
tidak keberatan aku memberikan penilaian untuk pak Aam. Kuberi bintang penuh,
lalu kutulis catatatn tambahan “Bahagia selalu dengan putra pertamanya ya pak
,”. (***)
No comments:
Post a Comment