Friday 21 January 2011

'Di Penyengat Aku Terpikat'


(Sebuah Cerpen) 
Doni mendongakkan wajah. Dilihatnya cuaca begitu cerah. Dirasakannya hangat jilatan matahari sore. Kacamata hitam dia lepas perlahan, kemudian memutar pandangan keliling pelabuhan Sri Bintan Pura. Pulau-pulau kecil yang indah. Sejumlah nelayan beriringan pulang dari mencari ikan, burung-burung laut beterbangan di permukaan air dan perahu-perahu tertambat rapi di sepanjang pelantar. Doni menghirup udara asing namun masih bagian dari Indonesia itu sedalam mungkin.
"Mau kemana bang. Pakai taksi?," Para supir taksi menawarkan tumpangan. "Oh, tidak pak. Terimakasih. Teman saya sudah menjemput," jawab Doni. Orang- orang berlalu lalang, ada yang baru berlabuh dan ada yang akan berlayar. Sri Bintan Pura adalah satu-satunya pintu keluar dan masuk bagi para penumpang yang akan pergi dan ke Tanjungpinang. Ada pelabuhan domestic dan ada pelabuhan internasional. Tanjungpinang juga salah satu kota yang menjadi objek kunjungan turis, terutama dari Singapura, Malaysia, Filiphina, Thailand dan beberpa turis eropa.
Handphone Doni berdering, Segera diraihnya dari dalam saku. "Halo, aku udah di Pelabuhan Sal. Kamu dimanan?," ujar Doni. "Jalan aja terus Don, ikuti pelantar beton bareng orang-orang yang baru turun dari feri yang kamu naiki. Aku nunggu didepan gerbang," jawab Faisal, sahabat Doni, dari balik handphone. Doni tidak kesulitan menemukan sahabatnya, karena Faisal berdiri persis didepan pintu keluar pelabuhan Sri Bintan Pura. Bersama Faisal seorang wanita berwajah natural, dengan penampilan sederhana. Namanya Lisa. Faisal belum sempat mengenalkannya kepada Doni. Dia adalah saudara sepupu Faisal.
Doni senang akhirnya bertemu sahabatnya. Karena baru pertama kali ke Tanjungpinang, Doni pun menceritakan pengalaman perjalanannya dari Jakarta hingga akhirnya sampai di Kota sahabatnya itu. Seperti yang dianjurkan Faisal, Doni mendarat di bandara Hang Nadim, Kota Batam. Kemudian menyeberangi laut dari Pelabuhan Telaga Punggur menuju Pelabuhan Sri Bintan Pura Tanjungpinang dengan waktu tempuh kurang dari satu jam. Cerita Doni, ketika di Batam dia sempat mampir di warung kecil sekedar untuk minum. Datanglah seorang pelayan yang menawarkan minuman. Doni heran saat seorang pelayan menawarinya teh obeng. “Minuman macam apa? Aku baru tau setelah pelayan itu menjelaskan, ternyata maksudnya es teh manis. Teh obeng jadi kata pertama yang aku dapat saat pertama menginjakkan kaki di sini,” cerita Doni sambil tertawa, Faisal pun ikut tertawa. Doni juga mengaku terkesan sejak pertama menginjakkan kaki di Tanjunpinang. Sebuah kota kecil yang baru pertama kalin dia kunjungi. Faisal hanya tersenyum menanggapi, dan berjanji akan membawa Doni ke tempat-tempat objek wisata yang lebih mengagumkan lagi selama sahabatnya itu berada di kota kelahirannya.
"O iya Don. Kenalkan, ini sepupuku, namanya Lisa. Lis, ini Doni sahabat aku di Jakarta,” Faisal memperkenalkan keduanya. "Halo, aku Doni," Doni menjulurkan tangan mengenalkan diri. "Saye Lisa," Lisa menjawab singkat dengan dialek Melayu yang kental, fasih dan kemudian membalas uluran tangan Doni. "Lisa ini sepupuku, dia pintar berpantun. Sengaja dia aku ajak kesini untuk menyambut kedatangan kamu dengan pantun-pantunnya," ujar Faisal. "Kayak mau kawinan aja pakai pantun-pantunan segala," timpal Doni.
"Berkebun mari kita berkebun
Sambil berkebun tanamlah tomat
Pantun bukan sembarang pantun,
Pantun untuk menyambut tamu terhormat,"
Tanpa basa-basi Lisa langsung berpantun. Doni manggut-manggut kagum. Dipandanginya Lisa yang dengan senyum bersahajanya juga memandangnya. Kemudian mengalihkan pandangan ke sahabatnya, Faisal. “Itu baru pembuka Don. Asal kamu tau, Tanjungpinang ini disebut juga dengan negeri Pantun,” ujar Faisal.
" Walau pak Amat berbadan legam
Tapi dia ramah dan santun .
Selamat Datang di kota Gurindam
Disebut juge Negeri Pantun,"
Lisa melanjutkan pantunnya dan membuat Doni tersenyum-senyum merasa sangat mendapatkan tempat yang istimewa. Pantun menjadi rahasia kedua yang diketahui Doni di Tanjungpinang, Ibukota Provinsi Kepulauan Riau. Sebagai orang Tanjungpinan asli, Lisa menyampaikannya dengan sangat santun. Layaknya orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah sebagai Duta Wisata dan Budaya untuk tetamu dari berbagai penjuru negeri. “Jadi Tanjungpinang disebut Kota Gurindam sekaligus Negeri Pantun?. Punya banyak julukan. Perkenalan yang sangat mengesankan sekali,” ujar Doni menyunggingkan senyum.
“Disini tempat wisatanya ada apa aja Sal?,” tanya Doni penasaran. “Kalau soal itu, kamu Tanya aja ke Lisa. Dia lebih tau soal wisata yang menarik disini. Dia juga nggak akan keberatan kalau kamu minta dia jadi gaet kok. Iya kan Lis,” ujar Faisal memancing sepupunya utuk ikut lebih aktif lagi dalam obrolan. “Tempat yang menarik ‘kat sini banyak bang, semue ade. Tergantung abang nak tengok ape? Kulinerkah, tempat bersejarahkah atau sekedar menikmati indahnya pantai,” ujar Lisa. Doni menyimak ucapan Lisa yang mengunakan bahasa Melayu. Bahasanya lembut, cengkoknya lunak. Seperti dialek Betawi. Pada akhir kata disudhi dengan huruf ‘E’. Hanya saja dialek Melayu akhiran E-nya lebih lunak dengan huruf ‘e’kecil. Sementara dialek Betawi akhiran E-nya lebih jelas dengan huruf ‘E’ besar. “Kalau semuanya bias kan?. Tapi aku percayakan sama kalian berdua aja deh. Yang penting aku nggak suntuk selama di Tanjungpinang,” pinta Doni.
“Jike mengantuk pejamkanlah mate
Bawalah tidur dengan selese.
Jike memang itu yang abang minte
Dengan senang hati kami bersedie,”
Lisa kembali menyambut dengan pantunnya. “Insya Allah saye akan tunjukkan tempat-tempat menarik yang ade kat kote Tanjungpinang ni bang,” janji Lisa. “Tenang aja Don, aku jamin kamu gak bakalan suntuk deh di sini,” Faisal meyakinkan.
*********
Hari berganti minggu. Dan tak terasa sudah hampir sebulan. Doni semakin terbiasa bercengkrama dengan deburan ombak di Tanjungpinang. Dia juga semakin akrab dengan wanita berdarah Melayu. Sekaligus kagum dengan adik sepupu sahabatnya yang masih menjunjung tinggi adat istiadatnya itu. Lisa pun tidak lagi merasa canggung menemani sahabat abangnya. Doni memandang Lisa sebagai sosok yang jauh berbeda dengan Faisal. Sahabatnya itu hampir sama sekali tidak terlihat jika dia orang Melayu. Pengetahuan Lisa akan sejarah dan kondisi Tanjungpinang tidak diragukan lagi, tidak seperti Faisal. Doni menjadi banyak tahu tentang Tanjungpinang dari Lisa, dan Lisa mulai membuat Doni penasaran akan seluruh rahasia yang ada di kota itu. Maka tidak heran jika hari-hari Doni lebih banyak dihabiskan bersama Lisa selama di Tanjungpinang karena didorong rasa keigintahuannya terhadap kota yang baru pertamakalinya dia kunjungi itu. Terlebih lagi, Tanjungpinang memang membutuhkan orang yang seperti Lisa.
Bersama Lisa, Doni telah menjajaki pantai Trikora, kawasan pusat Wisata Lagoi, Gunung Sri Bintan, dan beberapa lokasi wisata lainnya. Tanjungpinanh adalah bagian dari Pulau Bintan. Di Pulau Bintan terdapat dua pemerintahan, yakni Pemerintah Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.
Kebersihan dan keindahan laut di Pulau Bintan membuat Doni merasa senang. Apalagi, dalam setiap kunjungannya, Lisa selalu menjelaskan dengan runut apa yang ingin dia ketahui. Sehingga Doni tidak hanya melihat yang terlihat indah, namun secara pengetahuan pun dia mendapatkannya. Dan tidak satupun pertanyaan yang jawabannya dilewatkan. Lisa cukup menguasai sejarah daerahnya, faham akan kondisi geografis dan hampir semua yang Doni ingin ketahui tentang Tanjungpinang dia mampu menjelaskan dengan bahasa yang mengalir dan akurat. Suatu ketika Doni diajak Lisa ke sebuah Kelenteng tua tempat peribadatan orang Tionghoa di perkampungan Senggarang, Kampung Bugis. Kelenteng itu diperkirakan usianya sudah mendekati 300 tahun. Doni senang sekali. Tak lupa selalu dia abadikan dengan kamera poket digital yang selalu dia bawa. “Aku mulai senang di Tanjungpinang. Karena ditemani seorang wanita yang pinter, baik, cantik, supel dan sangat sopan,” kata Doni apa adanya. Spontan membuat Lisa kikuk dan memerah rona wajahnya. “Ah abang ni, merepek lah,” timpal Lisa. Doni memperhatikan ekspresi Lisa yang salah tingkah dan tesipu-sipu.
*********
Suatu malam. Doni, Faisal, Lisa dan Reni makan malam di Melayu Square. Sebuah pusat kuliner masyarakat Tanjungpinang. Lokasinya persis di tepi laut dan di pusat keramaian. Berbagai makanan seafood tersedia disana, seperti kepiting rebus, udang goreng, ikan bakar, otak-otak dan lain sebagainya. Rini adalah teman wanita Faisal yang bias dikatakan pacar. Dan tentu saja sudah dikenalkan kepada Doni. Usai makan, mereka melanjutkan obrolan sambil menghabiskan waktu di bale-bale tepi laut yang disebuat western Square dan ocean corner. Sebuah taman yang di setting cukup indah persis berada di sudut pelabuhan. Berhadapan langsung dengan kediaman Gubernur Kepulauan Riau. Disana mereka menghabiskan waktu untuk beberapa jam.
Dari posisi duduknya Doni melihat indahnya gemerlap lampu-lampu rumah penduduk di sebuah pulau. Adalah Pulau Penyengat yang dilihat Doni. Lisa pun langsung menceritakannya. Pulau Penyengat adalah pulau yang sarat dengan nilai-nilai sejarah. Disebut penyengat karena konon berdasarkan cerita orang tua setempat, dulunya ada seseorang yang berniat mengambil air disebuah perigi (sumur) umum. Saat akan menimba, orang itu tiba-tiba disengat lebah. Akibatnya sampai sekarang pulau itu disebut Pulau Penyengat. Disana para nenek moyang orang Melayu banyak disemayamkan. Dan dari sanalah asal-muasal bahasa Indonesi ada. Sebuah karya sastra terbesar yang dilahirkan dari pulau mungil itu adalah Gurindam Dua Belas yang dikarang oleh Raja Ali Haji yang kini namanya diabadikan sebagai pahlawan Nasional.
Cerita demi cerita yang dipaparkan Lisa akan Pulau Penyengat membuat Doni semakin kagum. Tentang sebuah masjid disana yang dibuat dari kuning telur membuat Doni ingin segera mengunjungi Pulau itu sebelum kembali ke Jakarta. “Luar biasa kota ini. Masih ada rahasia dahsyat lain rupanya. Aku baru tau ternyata bahasa Indonesia dilahirkan dari Pulau semungil itu. Dan pulau itu bagian dari Kota ini. Sungguh beruntung liburanku kali ini, karena mengunjungi Kota yang tepat. Begitu banyak keistimewaan Kota ini. Kapan kita kesana Lis?,” Tanya Doni tanpa basa-basi. “Jike abang nak, besok juge boleh bang. Lagipule Pulau Penyengat tu tak jauh sangat bang. Naik pompon (boat kayu) Cuma sekitar 15 menit aje bang,” jawab Lisa. Doni senang mendengar jawaban Lisa yang begitu bersemangat untuk memperkenalkan kotanya kepada orang asing yang ingin mengetahui lebih jauh. Berulangkali Doni memuji Lisa, wanita dihadapannya itu benar-benar baik hati dan senang berbagi pengetahuan dengan orang lain tentang kelebihan yang dimiliki Daerahnya. Mata Lisa selalu memancarkan semangat dan aura positif, dia tulus dan tidak materialistik. “Seharusnya orang kayak kamu ini jadi pegawai di Dinas Pariwisata Lis. Khusus di bagian promosi dan dibayar dengan gaji tinggi,” Ujar Doni. “Tak payah lah bang. Lagipula untuk berbuat kan tak mesti menunggu jadi aparat dulu,” jawab Lisa singkat. Membuat Doni terdiam dan hanya manggut-manggut membenarkan ucapan wanita itu. Doni jadi teringat saat membaca tulisan ‘Jujur Bertutur Bijak Bertindak’ yang terpampang dibeberapa ruas jalan yang menjadi motonya Kota Tanjungpinang. “Kalau masyarakat disini kayak kamu semua, moto Jujur Bertutur dan Bijak Bertindak itu memang pas sekali,” ujar Doni. Lisa hanya membalasnya dengan tersenyum. Entah pujian yang keberapa dia terima dari sahabat sepupunya itu. Doni melirik kearah Faisal yang asik ngobrol dengan Rini sambil memandangi bintang-gemintang diatas langit Tanjungpinang, Keduanya larut dalam canda dan cerita sekaligus asmara.
Doni mencuri pandang ke wajah Lisa yang sedang menatap lurus ke laut. Diamati dengan seksama wajah wanita berkulit bersih dengan rambut panjang lurus terurai itu. Doni memandang Lisa seperti mutiara yang tidak henti-henti memantulkan cahaya, semakin mengenalnya, cahaya itu semakin bersinar terang. Sementara orang lain sepertinya tidak pernah melihat adanya cahaya yang penuh daya magis itu dari di dirinya. Sementara Lisa membiarkan rambutnya menari-nari ditiup angin. Kecantikan makhluk Tuhan itu membuat Doni semakin melayang. Walau tanpa make-up. Tapi Doni tidak berani menatap langsung mata Lisa, kecuali hanya mencuri pandang. Doni tidak mau merusak pertemanan mereka yang baru saja dimulai. Apalagi Lisa saudara dekat sahabatnya. “Jam berapa besok kita ke Penyengat Lis?,” Doni bertanya dengan harapan Lisa menjawab dan memalingkan muka kearahnya. “Lebih baik pagi bang, soalnye kalo terlalu siang panas pula nanti,” ujar Lisa sambil menolehkan wajahnya, persis seperti yang diharapan Doni. Mereka saling beradu pandang untuk beberapa saat, tapi kemudian Doni mengalihkan pandangan kearah pergelangan tangan Lisa yang dihiasi jam tangan cantik berwarna perak, dilihatnya waktu menunjukkan pukul 22.30 WIB. Tak lama setelah itu, mereka pun pulang untuk beristirahat.
*********
Doni memandangi masjid bertembok tebal dan kokoh didepannya berwarna kuning keemasan. Konon, berdasarkan cerita masyarakat setempat, saat membangun masjid megah itu meracik semennnya tidak menggunakan air, melainkan menggunakan kuning telur ayam kampung. Entah berapa juta butir telur yang dibutuhkan dan darimana telur-telur itu didapat. Sebuah mahakarya luar biasa. Pada bagian gerbang masjid tertulis‘Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat’. Harus menaiki beberapa anak tangga untuk mencapai halaman masjid. Tidak terlalu tinggi tangganya. Namun jika dilihat dari bawah hanya setengah bangunan masjid saja yang tampak. Kamera poket digital tak lupa disiapkan Doni untuk mengabadikan perjalanannya ke Pulau yang asing dan langka itu. Diamatiya empat kubah yang menusuk langit. Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Masih pagi. Tapi panas sudah mulai menjalar kesekujur tubuh. Doni menyiapkan topi dan kacamata hitam untuk meredam sengatan sinar matahari. “Sile naik atas lah bang, kate nak tengok masjid Penyengat,” ajak Lisa melihat Doni yang hanya berdiri mematung terkagum-kagum. Doni mengikuti langkah Lisa, Faisal dan Rini menaiki tangga demi tangga masjid. Sampai di puncak tangga, Doni kembali menghentikan langkah. Diamati dengan seksama sekeliling masjid, ada bale-bale tempat istirahat di kedua sisi halama masjid. Tak ada satupun pemandangan baru yang terlewatkan dari jepretan kamera digital Doni. “Bagusnya kita keliling aja dulu ke tempat-tempat bersejarah lainnya yang ada di pulau ini. Nanti siang baru kita kesini lagi, sekalian sholat zuhur,” Rini yang sebelumnya diam memberi usul. “Boleh juga tu Rin. Tapi sebentar ya, aku ambil beberapa foto lagi, biar dapat yang paling mantap,” izin Doni kepada teman-temannya.
Mereka berempat menyewa dua buah becak motor atau yang disingkat ‘bentor’ untuk berkeliling Pulau Penyengat. Cukup membayar Rp20 ribu saja per becak. Tak satupun tempat bersejarah yang terlewatkan yang ada di sana. Doni berulangkali mengabadikan gambar menggunakan kamera yang ia bawa. Sesekali dia minta di foto bersama Faisal, sesekali bersama Lisa, bersama Rini dan beberapa kali pula meminta tolong kepada orang yang lewat untuk memfoto mereka berempat. Seperti biasa, dan membuat Doni semakin terpikat, Lisa menjelaskan detil tentang sejarah tempat-tempat yang dia kunjungi. Layaknya turis, Doni menyimak penjelasan itu, terutama letak makam Raja Ali Haji yang sudah menjadi pahlawan nasional yang pernah diceritakan oleh Lisa. Setelah semua tempat bersejarah selesai diziarahi, mereka kembali ke Masjid. Kebetulan suara azan sudah dikumandangkan oleh muadzin.
Pulau Penyengat pernah dijadikan mas kawin oleh Sultan Riau kepada seorang wanita yang sangat ia cintai. Putri itu bernama Engku Putri. Berdasarkan mitos pula, jika seseorang sedang jatuh cinta dan berkunjung ke pulau itu, maka cintanya akan mejadi kenyataan. Mitos situ diyakini sampai sekarang. Sebaliknya, jika seseorang sedang menjalin hubungan namun tidak diirigi dengan ketulusan, maka setelah pulang dari pulau tersebut akan segera berakhir. “Berdoalah sesuai keinginan hati kamu Don. Kali aja apa yang kamu harapkan terwujud. Kalau niat kamu tulus, Insya Allah akan jadi kenyataan nanti. Percaya atau nggak, semua yang diceritakan Lisa tadi sudah diyakini olah seluruh masyarakat disini sejak lama.” Kata Faisal meyakinkan Doni. “Tenang Sal. Lagipula, kapan lagi kalau nggak sekarang aku solat dan berdoa di masjid bertuah ini,” balas Doni.
Interior masjid Raya Penyengat tidak megah, namun kokoh. Dinding-dindingnya tebal, selain tempat ibadah konon dulunya adalah tempat berlindung masyarakat dari serangan para penjajah Belanda. Pada pintu masuk masjid ada sebuah kotak amal yang besar terbuat dari besi. Selain itu terpajang sebuah Alqur’an kuno berukuran besar yang ditulis dengan tangan. Diletakkan dalam etalase yang berukuran besar pula. Masjid itu dikelilingi kuburan tua yang nisannya dibungkus kain berwarna kuning. Doni, Lisa, Faisal dan Rini solat zuhur berjamaah disana. Usai solat mereka kembali ke Tanjungpinang naik pompong dengan membayar Rp5000 per kepala. Sama seperti ketika mereka berangkat pada pagi harinya.
*******
Tiupan angin pagi di pelabuhan Sri Bintan Pura mengbar-ngibarkan rambut Lisa dan Rini. Saatnya Doni kembali ke Jakarta setelah sekitar sebulan menghabiskan waktu liburan kuliahnya di Tanjungpinang. Tiket sudah ditangan. “Aku nggak bakalan lupa dengan Tanjungpinang, terutama Pulau Penyengat. Suatu saat aku pasti akan kembali. Aku ingin berkunjung sekali lagi ke Pulau Penyengat. Duduk di Ocean Corner, makan di Melayu Square, naik pompong, pergi ke kampung Bugis, Senggarang, Dompak, sambil melihat nelayan sedang nyondong (menangkap udang) dan lain-lain. Karena aku yakin sekali, pasti banyak tempat yang belum sempat aku kunjungi selama disini,” ujar Doni.
“Aku juga yakin kamu pasti bakal kesini lagi Don. Karena berdasarkan mitos, orang yang sudah menginjakkan kaki di pulau Penyengat dan berwudhu dengan air disana, jiwanya akan dibimbing untuk kembali lagi walaupun Cuma sekedar melakukan ziarah,” kata Faisal. “Ah masak ia. Memang bener ya Lis? Kok kamu nggak pernah cerita sama aku soal yang itu,” Doni setengah tak percaya dan sambil berseloroh meminta pertanggungjawaban Lisa yang menjadi gaetnya sejauh ini. “Maaf bang, saye tak sempat cerite soal tu. Berdasarkan cerite orang-orang tue kat sini, memang macam tu lah bang,” kata Lisa. “Bisa jadi sih, bapak aku aslinya kan dari Bukit Tinggi. Ceritanya dulu dia main ke rumah temannya di sini, persis seperti kamu Don. Percaya atau nggak, saat dia pulang ke kampung, kemudian dia kembali lagi kesini. Dan ternyata dia bertemu dengan mamak aku disini. Mereka kemudian berpacaran, dan berlanjut sampai menikah. Akhirnya menetaplah dia disini sampai sekarang,” Rini menguatkan cerita itu berdasarkan sejarah hidup yang dialami keluarganya.
“Benar atau tidak tentang Mitos itu, aku memang sudah berniat akan kembali lagi kesini kok. Bagiku Tanjungpinang adalah negeri yang penuh misteri. Terus terang, disini damai, aman, nyaman dan terbebas dari hiruk pikuk kesemrawutan kendaraan. Beda dengan Jakarta,” kata Doni mengamati ketiga sahabatnya dari balik kacamata hitamnya. Doni juga tidak membohongi perasaannya. Tidak sekedar eksotis Penyengat dan keunikan kota Tanjungpinang yang menimbulkan hasratnya untuk kembali lagi. Tapi pesona Lisa telah menghipnotisnya untuk selalu kembali ke Kota yang baru pertama kali ia kunjungi itu.
Doni menjabat tangan Faisal dan merangkulnya tanda perpisahan sambil berulangkali megucapkan terimakasih atas semuanya. Doni melanjutkan menyalami Lisa, kemudian menyalami Rini sambil mengucapkan kata-kata yang sama. “Sebulan lalu kamu sambut aku dengan pantun Lis. Kali ini aku punya pantun yang sudah aku siapkan khusus,” ujar Doni. “Ape tu bang,” tanya Lisa penasaran.
“Kalau ada sumur di ladang,
Boleh kita menumpang mandi,
Jika ada umur panjang…..
Belum selesai Doni menyelesaikan pantunyya, langsung disambut koor oleh ketiga temannya. “BOLEH KITA BERJUMPA LAGI”……ketiganya lalu tertawa bersama-sama.“Itulah satu-satunya pantun perpisahan yang aku tau. Aku hafal ini sejak SD,” kata Doni tertawa.
“Anak gembale memanggul jerami,
Jerami diletak kat samping perigi
Salah dan silap maafkanlah kami,
Jike berkenan datanglah kemari lagi,”
Lisa membalas pantun Doni. “Terimakasih ya atas semuanya. Sumpah aku terkesan banget dengan Kota ini. Dan kalian aku tunggu di Jakarta,” ujar Doni. Kemudian Doni masuk ke dalam feri yang sudah mulai dipenuhi penumpang. Kemudian pintu ditutup oleh petugas. Tapi, tak lama didalam feri, tiba-tiba Doni keluar lagi dengan tergesa-gesa, menghampiri Lisa sambil menyodorkan sebuah amplop putih. “Sori Lis, aku hampir lupa. Ini untuk kamu, baca nanti kalo sudah di rumah ya,” ujar Doni sambil terburu-buru masuk kembali kedalam feri. Entah apa isinya, belum sempat Lisa bertanya, Doni sudah menggelontor pergi. Tak lama, kapal pun berangkat menuju Punggur, Kota Batam. Rute yang sama ketika Doni baru tiba dari Jakarta. Lisa memegang erat amplop sambil melambaikan tangan untuk Doni yang tampak dari jendela. Faisal dan Rini juga melambaikan tangan untuk melepas sahabatnya. Lambat laun kapal itu mengecil dan menghilang diujung samudra.
*********
Di kamarnya Lisa duduk didepan meja rias sambil membolak-balik sebuah amplop putih dari Doni. Tidak ada tulisan lain kecuali “to: Lisa” pada amplop itu. Membunuh rasa penasarannya, Lisa langsung membukanya. Didalamnya sebuah kertas putih bergaris dan harum, sama seperti bau parfum yang selalu dipakai Doni. Ada tulisan tangan di kertas itu. Dibacanya baris demi baris tulisan tangan Doni. Lisa tersenyum. Senyuman yang penuh makna. Lisa kemudian membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, sambil terus membaca. Usai membaca bait terakhir, dilipatnya kembali surat itu dan dimasukkan kedalam amplop seperti semula. Dia dekap surat itu didadanya. Matanya kosong menerawang langit-langit kamar, dengan pandangan penuh harapn. Lalu dia bangun dan menyimpan surat itu di laci meja rias.
………… Suatu saat aku pasti kembali ke Tanjungpinang. Menjemput serpihan hatiku yang masih menempel pada dinding-dinding eksotiknya. Pulau Penyengat telah’ menyengatku’ dengan segala pesonanya. Di Penyengat aku benar-benar terpikat. Dan kamu jadi satu alasan kuat yang mendorong aku untuk selalu kembali..sampai ketemu di Kotamu!. Tertanda : Doni

No comments:

New Entri

Lai Ba Ju

Jam 06.45 WIB, bel sekolah SD Impian baru saja dibunyikan. Para siswa dan siswi dari kelas 1 hingga kelas 6 segera berbaris didepan kelas m...