Wednesday 30 July 2008

Pohon Yang Rindang Tidak Berdiri Sendiri

Oleh: Basoruddin Subandi

Batangnya kokoh menyanggah. Ranting, dahan, daun, bunga dan buah tampak segar dan menyegarkan. Semuanya bergelayut manja sambil menari dan berdendang merdu diiringi bayu yang terus menerpa.

Ratusan cabangnya saling-silang memberi jalan bagi semut dan
binatang-binatang lain yang bersemayam disana.

sambil bermanja-manja, dedaunan yang merimbun tawarkan keteduhan bagi
cacing dan penghuni tanah lainnya.

Pohon yang rindang menyapa lingkungan dengan hati dan perasaan. Melihat tidak hanya semata-mata dengan mata, dan berbuat tidak
semata-mata untuk dirinya pribadi.

Sumber Air dalam tanah pun tidak ragu mengalirkan airnya
untuk pohon seperti ini. Pohon yang mengayomi selalu dinanti makhluk
disekiarnya. Tidak perlu berfikir panjang bagi siapa yang ingin
memberinya bantuan.

Pohon yang rindang selalu memberi, dan kemudian diberi, disenangi dan
tanpa ada yang membenci. Pohon yang rindang kian tegar berdiri.

Dahsyatnya badaipun 'tak akan mampu menggoyangkannya. Karena akarnya
dicengkeram oleh tanah-tanah yang sehat. Tanah yang selalu disirami
dengan air yang tak berhenti mengalir.Dan pohon yang rindang selalu mendapat dukungan moril oleh penghuni disekitarnya.


Pohon yang rindang dan yang bermanfaat untuk lainya. Tentu tak satupun
ekosistem disekitarnya merelakan sang pohon diusik apalagi dimusnahkan.
Pohon yang rindang, yang keberadaannya penuh manfaat. Kedatangannya
selalu dinantikan dan kepergiannya tidak ada satupun yang mengharapkan.

Atas kerindangan, manfaat dan kekokohannya. Badaipun bertekuk lutut dan
menjadi sahabat yang siap melindungi dan membela sang pohon.

Jadilah pohon yng rindang. Pohon yang selalu meneduhi binatang melata
yang butuh perlindungan. Pohon yang mengutakaman kepentingan
lingkungannya ketimbang dirinya.

Simbiosis mutualisme. Kerjasama yang saling menguntungkan. Mata rantai
biologi mapan dengan sendirinya. Pohon terus melindungi dengan
kerindangannya. Sumber air terus merasuk ke akar pohon, dan pohonpun
semakin rimbun. Semuanya merasakan damai, tentram, aman, nyaman dan
sejahtera****

Thursday 10 July 2008

Menilik Desa Air Glubi

- 60 Persen Remaja Disana Putus Sekolah

Oleh: Basoruddin Subandi

Sengatan sinar matahari siang itu sedikit terhalang daun kelapa yang melambai-lambai, sehingga panasnya tidak terlalu membakar kulit. Rumah-rumah suku laut berjejer tak beraturan disepanjang pantai dengan ukuran yang cukup kecil, berdinding dan berlantai papan, serta hanya disangga dengan kayu seadanya dan beratapkan jerami. Itulah sebuah gambaran suku laut yang ada di Desa Air Glubi, Kecamatan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan.

Air Glubi merupakan sempalan dari Desa Kelong yang baru dimekarkan sejak November 2007 . Dihuni 187 KK (Kepala Keluarga) dengan 702 jumlah penduduk. Sarana dan prasarana di desa itu masih terlalu minim. Cukup mengejutkan, dari pengakuan Camat Bintan Pesisir Syaiful Ikhsan, 60 persen remaja di desa yang baru berusia 5 bulan itu ternyata putus sekolah.

Mariana (13) merupakan salah satu contoh dari anak usia 7-15 tahun yang sekolahnya kandas ditengah jalan. Dia berhenti sekolah sejak duduk di kelas 5 SD. Ayah dan ibunya yang nelayan tidak sanggup membiayai pendidikannya. Seragam sekolahnya yang sudah sempit dan kumal sekarang selalu dia gunakan untuk pergi memancing ikan, menemani orang tuanya dilautan lepas yang dalam dan ganas.

Ketika ditemuia koran ini, Mariana terlihat masih mengenakan seragam merah putih lengkap dengan lambang 'tut wuri handayani' di saku kirinya, yang maknanya 'dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan'. Namun lambang itu melekat didada kirinya tanpa makna apa-apa lagi.

Dari sorot mata gadis yang masih keturunan suku laut itu menggambarkan betapa inginnya dia meraih bintang, namun penghasilan ayahya yang nelayan tidak mungkin dapat ia andalkan. Akhirnya dia dan ayahnya terpaksa membawa amanat undang-undang wajib belajar 9 tahun ketengah laut dan memberikannya kepada ikan-ikan yang keplaparan.

"Kadang saye ikut turun cari ikan ka' (di-red) laut sama 'tok (kakek-red), juge same nenek. Abis saye udah tak sekolah lagi," ungkap gadis yang mulai beranjak dewasa itu malu-malu sambil menyembunyikan warna baju seragam putihnya yang mulai kuning kehitam-hitaman karena jamur.

Disamping ekonomi yang melilit, sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Air Glubi menjadi faktornya. Disana hanya ada satu sekolah dasar (SD), yaki SD 025. Setelah tamat SD kebanyakan anak-anak disana harus melanjutkan pendidikan SMP ditempat lain. Sedangkan untuk menuju sekolah SMP itu dibutuhkan transportasi laut yang harus siap setiap saat. Dan transportasi itulah masalahnya.

Sebagai gambaran, di Kecamatan Bintan Pesisir terdapat 4 Desa masing-masing Desa Kelong, Desa Numbing, Desa Air Glubi dan Desa Mapur. Antara desa yang satu dengan lainnya hanya bisa dihubungkan menggunakan jalur transportasi laut yang memakan waktu tempuh 15 hingga 30 menit. Dan satu-satunya desa yang sudah memiliki sarana pendidikn SMP hanya di Kelong.

Mendiang Ki Hajar Dewantara akan terenyuh jika menyaksikan keadaan ini. Tokoh pendidikan kelahiran Yogyakarta, 2 Mei 1889 yang wafat 26 April 1959 tersebut merupakan seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Semestinya dizaman yang serba gampang dan bebas merdeka ini anak-anak lebih mudah mendapatkan pendidikan.

Mak Yah (67), nenek Mariana, duduk mendampingi cucunya yang tidak sekolah lagi itu. Menurut Mak Yah, dia memiliki lebih selusin cucu dan rata-rata hanya memiliki bekal pendidikan SD, bahkan sebagiannya tidak selesai. Dan hanya satu cucunya yang lanjut sampai bangku SMP.

"Susah pak, mau sekolah tak ada uang. Disini yang ada cuma SD. SMP-nya ada di kelong. Pake pompong kalo mau kesana. Kita tak ada pompong, yang ada cuma sampan," kata Mak Yah sambil menunjuk sampan kecil yang biasa ia gunakan untuk mancing.

Dalam sehari, Mak Yah dan Suaminya, Pak Atak, setiap melaut rata-rata menghasilkan Rp50.000. Mereka berangkat mancing biasanya sekitar pukul 19.00 WIB dan baru pulang keesokan harinya sekitar pukul 10.00 WIB Pagi. Ikan hasil memancing kemudian dia jual kepada tauke (penampung).

"Kite tengok cuaca lah, kalau angin kencang kita tak turun laut. Tapi kalau tenang, saya dan bapak pegi mancing. Berangkat malam sampai pagi baru pulang," pungkas Mak Yah.

Mapur dan kelong adalah dua perairan tempat Mak Yah dan suaminya memburu ikan. Disini terdapat berbagai jenis ikan, seperti ikan krapu, ikan sono, ikan karang, ikan putih dan lain-lain.

Camat Bintan Pesisir Syaiful Ikhwan menggantungkan asanya pada gagasan pemekaran. Dia berharap dari pemekaran tersebut akan memperpendek rentang kendali dalam pelayanan masyarakat. Sehingga kedepannya pendataan jumlah penduduk miskin bisa terakomodir dan progam wajar (wajib belajar) 9 tahun bisa segera teratasi.

"Kita baru dimekarkan sekitar 5 bulan lalu, dan pelan-pelan akan kita benahi. Memang disini sekitar 60 persen anak-anak pada putus sekolah karena terbentur transportasi, biaya dan prasarana sekolah. Disini hanya ada SD, sementara SMP adanya di Kelong. Meski demikian, Bupati dan Wakil Bupati sudah sering kemari dan memberikan sejumlah bantuan. Mudah-mudahan aja daerah ini dapat bantuan program percepatan desa tertinggal dari Provinsi Kepri," kata Syaiful*****

New Entri

Lai Ba Ju

Jam 06.45 WIB, bel sekolah SD Impian baru saja dibunyikan. Para siswa dan siswi dari kelas 1 hingga kelas 6 segera berbaris didepan kelas m...